Raden Ajeng Kartini (1879-1904)
Pejuang Kemajuan Wanita
Door Duistermis tox Licht, Habis Gelap Terbitlah Terang, itulah judul buku dari kumpulan surat-surat Raden Ajeng Kartini yang terkenal. Surat-surat yang dituliskan kepada sahabat-sahabatnya di negeri Belanda itu kemudian menjadi bukti betapa besarnya keinginan dari seorang Kartini untuk melepaskan kaumnya dari diskriminasi yang sudah membudaya pada zamannya.
Buku itu menjadi pedorong semangat para wanita Indonesia dalam memperjuangkan hak-haknya. Perjuangan Kartini tidaklah hanya tertulis di atas kertas tapi dibuktikan dengan mendirikan sekolah gratis untuk anak gadis di Jepara dan Rembang.
Upaya dari puteri seorang Bupati Jepara ini telah membuka penglihatan kaumnya di berbagai daerah lainnya. Sejak itu sekolah-sekolah wanita lahir dan bertumbuh di berbagai pelosok negeri. Wanita Indonesia pun telah lahir menjadi manusia seutuhnya.
Di era Kartini, akhir abad 19 sampai awal abad 20, wanita-wanita negeri ini belum memperoleh kebebasan dalam berbagai hal. Mereka belum diijinkan untuk memperoleh pendidikan yang tinggi seperti pria bahkan belum diijinkan menentukan jodoh/suami sendiri, dan lain sebagainya.
Kartini yang merasa tidak bebas menentukan pilihan bahkan merasa tidak mempunyai pilihan sama sekali karena dilahirkan sebagai seorang wanita, juga selalu diperlakukan beda dengan saudara maupun teman-temannya yang pria, serta perasaan iri dengan kebebasan wanita-wanita Belanda, akhirnya menumbuhkan keinginan dan tekad di hatinya untuk mengubah kebiasan kurang baik itu.
Pada saat itu, Raden Ajeng Kartini yang lahir di Jepara, Jawa Tengah pada tanggal 21 April 1879, ini sebenarnya sangat menginginkan bisa memperoleh pendidikan yang lebih tinggi, namun sebagaimana kebiasaan saat itu dia pun tidak diizinkan oleh orang tuanya.
Dia hanya sempat memperoleh pendidikan sampai E.L.S. (Europese Lagere School) atau tingkat sekolah dasar. Setamat E.L.S, Kartini pun dipingit sebagaimana kebiasaan atau adat-istiadat yang berlaku di tempat kelahirannya dimana setelah seorang wanita menamatkan sekolah di tingkat sekolah dasar, gadis tersebut harus menjalani masa pingitan sampai tiba saatnya untuk menikah.
Merasakan hambatan demikian, Kartini remaja yang banyak bergaul dengan orang-orang terpelajar serta gemar membaca buku khususnya buku-buku mengenai kemajuan wanita seperti karya-karya Multatuli “Max Havelaar” dan karya tokoh-tokoh pejuang wanita di Eropa, mulai menyadari betapa tertinggalnya wanita sebangsanya bila dibandingkan dengan wanita bangsa lain terutama wanita Eropa.
Dia merasakan sendiri bagaimana ia hanya diperbolehkan sekolah sampai tingkat sekolah dasar saja padahal dirinya adalah anak seorang Bupati. Hatinya merasa sedih melihat kaumnya dari anak keluarga biasa yang tidak pernah disekolahkan sama sekali.
Sejak saat itu, dia pun berkeinginan dan bertekad untuk memajukan wanita bangsanya, Indonesia. Dan langkah untuk memajukan itu menurutnya bisa dicapai melalui pendidikan. Untuk merealisasikan cita-citanya itu, dia mengawalinya dengan mendirikan sekolah untuk anak gadis di daerah kelahirannya, Jepara. Di sekolah tersebut diajarkan pelajaran menjahit, menyulam, memasak, dan sebagainya. Semuanya itu diberikannya tanpa memungut bayaran alias cuma-cuma.
Bahkan demi cita-cita mulianya itu, dia sendiri berencana mengikuti Sekolah Guru di Negeri Belanda dengan maksud agar dirinya bisa menjadi seorang pendidik yang lebih baik. Beasiswa dari Pemerintah Belanda pun telah berhasil diperolehnya, namun keinginan tersebut kembali tidak tercapai karena larangan orangtuanya. Guna mencegah kepergiannya tersebut, orangtuanya pun memaksanya menikah pada saat itu dengan Raden Adipati Joyodiningrat, seorang Bupati di Rembang.
Berbagai rintangan tidak menyurutkan semangatnya, bahkan pernikahan sekalipun. Setelah menikah, dia masih mendirikan sekolah di Rembang di samping sekolah di Jepara yang sudah didirikannya sebelum menikah. Apa yang dilakukannya dengan sekolah itu kemudian diikuti oleh wanita-wanita lainnya dengan mendirikan ‘Sekolah Kartini’ di tempat masing-masing seperti di Semarang, Surabaya, Yogyakarta, Malang, Madiun, dan Cirebon.
Sepanjang hidupnya, Kartini sangat senang berteman. Dia mempunyai banyak teman baik di dalam negeri maupun di Eropa khususnya dari negeri Belanda, bangsa yang sedang menjajah Indonesia saat itu. Kepada para sahabatnya, dia sering mencurahkan isi hatinya tentang keinginannya memajukan wanita negerinya. Kepada teman-temannya yang orang Belanda dia sering menulis surat yang mengungkapkan cita-citanya tersebut, tentang adanya persamaan hak kaum wanita dan pria.
Setelah meninggalnya Kartini, surat-surat tersebut kemudian dikumpulkan dan diterbitkan menjadi sebuah buku yang dalam bahasa Belanda berjudul Door Duisternis tot Licht (Habis Gelap Terbitlah Terang). Apa yang terdapat dalam buku itu sangat berpengaruh besar dalam mendorong kemajuan wanita Indonesia karena isi tulisan tersebut telah menjadi sumber motivasi perjuangan bagi kaum wanita Indonesia di kemudian hari.
Apa yang sudah dilakukan RA Kartini sangatlah besar pengaruhnya kepada kebangkitan bangsa ini. Mungkin akan lebih besar dan lebih banyak lagi yang akan dilakukannya seandainya Allah memberikan usia yang panjang kepadanya. Namun Allah menghendaki lain, ia meninggal dunia di usia muda, usia 25 tahun, yakni pada tanggal 17 September 1904, ketika melahirkan putra pertamanya.
Mengingat besarnya jasa Kartini pada bangsa ini maka atas nama negara, pemerintahan Presiden Soekarno, Presiden Pertama Republik Indonesia mengeluarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia No.108 Tahun 1964, tanggal 2 Mei 1964 yang menetapkan Kartini sebagai Pahlawan Kemerdekaan Nasional sekaligus menetapkan hari lahir Kartini, tanggal 21 April, untuk diperingati setiap tahun sebagai hari besar yang kemudian dikenal sebagai Hari Kartini.
Belakangan ini, penetapan tanggal kelahiran Kartini sebagai hari besar agak diperdebatkan. Dengan berbagai argumentasi, masing-masing pihak memberikan pendapat masing-masing. Masyarakat yang tidak begitu menyetujui, ada yang hanya tidak merayakan Hari Kartini namun merayakannya sekaligus dengan Hari Ibu pada tanggal 22 Desember.
Alasan mereka adalah agar tidak pilih kasih dengan pahlawan-pahlawan wanita Indonesia lainnya. Namun yang lebih ekstrim mengatakan, masih ada pahlawan wanita lain yang lebih hebat daripada RA Kartini. Menurut mereka, wilayah perjuangan Kartini itu hanyalah di Jepara dan Rembang saja, Kartini juga tidak pernah memanggul senjata melawan penjajah. Dan berbagai alasan lainnya.
Sedangkan mereka yang pro malah mengatakan Kartini tidak hanya seorang tokoh emansipasi wanita yang mengangkat derajat kaum wanita Indonesia saja melainkan adalah tokoh nasional artinya, dengan ide dan gagasan pembaruannya tersebut dia telah berjuang untuk kepentingan bangsanya. Cara pikirnya sudah dalam skop nasional.
Sekalipun Sumpah Pemuda belum dicetuskan waktu itu, tapi pikiran-pikirannya tidak terbatas pada daerah kelahiranya atau tanah Jawa saja. Kartini sudah mencapai kedewasaan berpikir nasional sehingga nasionalismenya sudah seperti yang dicetuskan oleh Sumpah Pemuda 1928.
Terlepas dari pro kontra tersebut, dalam sejarah bangsa ini kita banyak mengenal nama-nama pahlawan wanita kita seperti Cut Nya’ Dhien, Cut Mutiah, Nyi. Ageng Serang, Dewi Sartika, Nyi Ahmad Dahlan, Ny. Walandouw Maramis, Christina Martha Tiahohu, dan lainnya.
Mereka berjuang di daerah, pada waktu, dan dengan cara yang berbeda. Ada yang berjuang di Aceh, Jawa, Maluku, Menado dan lainnya. Ada yang berjuang pada zaman penjajahan Belanda, pada zaman penjajahan Jepang, atau setelah kemerdekaan. Ada yang berjuang dengan mengangkat senjata, ada yang melalui pendidikan, ada yang melalui organisasi maupun cara lainnya. Mereka semua adalah pejuang-pejuang bangsa, pahlawan-pahlawan bangsa yang patut kita hormati dan teladani.
Raden Ajeng Kartini sendiri adalah pahlawan yang mengambil tempat tersendiri di hati kita dengan segala cita-cita, tekad, dan perbuatannya. Ide-ide besarnya telah mampu menggerakkan dan mengilhami perjuangan kaumnya dari kebodohan yang tidak disadari pada masa lalu. Dengan keberanian dan pengorbanan yang tulus, dia mampu menggugah kaumnya dari belenggu diskriminasi.
Bagi wanita sendiri, dengan upaya awalnya itu kini kaum wanita di negeri ini telah menikmati apa yang disebut persamaan hak tersebut. Perjuangan memang belum berakhir, di era globalisasi ini masih banyak dirasakan penindasan dan perlakuan tidak adil terhadap perempuan.
Itu semua adalah sisa-sisa dari kebiasaan lama yang oleh sebagian orang baik oleh pria yang tidak rela melepaskan sifat otoriternya maupun oleh sebagian wanita itu sendiri yang belum berani melawan kebiasaan lama. Namun kesadaran telah lama ditanamkan kartini, sekarang adalah masa pembinaan.
Biografi
Nama: Raden Ajeng Kartini
Lahir: Jepara, Jawa Tengah, tanggal 21 April 1879
Meninggal: Tanggal 17 September 1904, (sewaktu melahirkan putra pertamanya)
Suami: Raden Adipati Joyodiningrat, Bupati Rembang
Pendidikan: E.L.S. (Europese Lagere School), setingkat sekolah dasar
Prestasi:
- Mendirikan sekolah untuk wanita di Jepara
- Mendirikan sekolah untuk wanita di Rembang
Kumpulan surat-surat:
- Door Duisternis tot Licht (Habis Gelap Terbitlah Terang).
Penghormatan:
- Gelar Pahlawan Kemerdekaan Nasional
- Hari Kelahirannya tanggal 21 April ditetapkan sebagai hari besar
Mari kita kembangkan kebudayaan daerah kita, agar bisa menjadi tolak ukur dengan negara2 lain.
Minggu, 21 November 2010
Minggu, 14 November 2010
Perang Obor
TRADISI PERANG OBOR
Di Desa Tegalsambi kecamatan Tahunan kabupaten Jepara ada acara tradisi atau ritual yang saat ini masih di”uri-uri” kelestariannya yaitu perang obor . Bagi pemerintah daerah Jepara acara tradisi itu dikemas menjadi ajang wisata yang mampu menyedot pengunjung yang cukup banyak.Namun bagi warga desa Tegal Sambi ritual ini sebagai tolak balak dan juga ajang syukuran warga desa sehabis panen padi ,agar tahun-tahun mendatang semua warga masih mendapatkan rejeki dari yang Maha Kuasa.
Disebut Perang obor karena warga yang mengikuti ritual ini mengadakan perang ( hantam menghantam ) dengan menggunakan obor yang dibuat dari pelepah daun kelapa kering dan juga daun pisang kering. Warga yang mendapat tugas sebagai tentara yang akan berperang merupakan warga pilihan yaitu harus berani dan tidak takut akan api .Pada pesta obor tahun ini panitia telah menugaskan 30 warga desa Tegal sambi untuk menjadi pasukan perang
Sekretaris Desa Tegal Sambi, Muhsin, mengatakan bahwa untuk tahun ini, perayaan perang obor tidak diadakan pada bulan Dhulhijah dalam kalender Jawa atau Arab. Sebab, pada bulan itu cuaca masih sering hujan dan khawatir saat dilaksanakan perayaan perang obor akan terjadi hujan
”Makanya kami mengadakan tradisi ini pada bulan Mei. Untuk harinya tetap sesuai yang telah dilakukan sejak dulu, yakni Senin Pahing dan bertepatan tanggal 24 Mei ” katanya
Muhsin mengatakan, tahun ini panitia prang obor hanya menyediakan 200 gulung pelepah daun kelapa dicampur daun pisang kering. Ini karena keterbatasan biaya. Maklum, semua bahan untuk tradisi itu harus didapat dengan membeli. ”Semua bahan untuk obor-oboran ini kami beli dari Kecamatan Keling. Karena di sana yang masih banyak pohon kelapanya,” tuturnya.
Setiap gulung pelepah daun kelapa dan daun pisang kering itu, diperkirakan senilai Rp 10 ribu. Sehingga untuk membuat 200 gulung, panitia menghabiskan sekitar Rp 2 juta.
Perang obor ini, merupakan atraksi budaya yang sudah turun temurun, yang harus dilestarikan. Karena selain merupakan tradisi budaya daerah, juga sebagai ungkapan rasa terima kasih kepada Tuhan atas limpahan anugrah panen kepada masyarakat. Selengkapnya kisah adanya perang obor ini adalah sebagai berikut:
Dahulu di Desa Tegalsambi ada seorang petani kaya raya bernama Mbah Babadan. Petani ini memiliki banyak sekali hewan ternak. Bahkan, saking banyaknya jumlah ternak yang dimiliki, Mbah Babada pun tak mampu memelihara hewan-hewannya itu seorang diri. Akhirnya, seorang warga bernama Ki Gemblong menawarkan diri untuk memelihara hewan-hewan ternak Mbah Babadan. Kesepakatan pun dilakukan dan Ki Gemblong mulai memelihara ternak Mbah Babadan.
Kepandaian Ki Gemblong memelihara ternak ternyata membuahkan hasil. Dalam waktu singkat hewan ternak yang dipeliharanya jumlahnya bertambah banyak, bahkan boleh dikata berlipat-lipat dan badannya gemuk-gemuk.
Melihat keberhasilan memelihara hewan ternak, Mbah Babadan pun sangat gembira. Ia terus-menerus berterimakasih dan memuji-muji Ki Gemblong.
Pada suatu hari, Ki Gemblong menggembalakan hewan-hewan ternaknya di tepi sungai. Ki Gemblong tiba-tiba terkejut karena di sungai itu banyak sekali ikannya. Melihat saking banyaknya ikan di sungai yang jernih itu, perut Ki Gemblong pun tiba-tiba terasa melilit lapar. Ki Gemblong pun memakan ikan tersebut dengan cara dibakar.
Begitu ikan bakar yang diambil dari sungai itu dikunyahnya, Ki Gemblong terkejut bukan kepalang. Sebab ikan yang dimakannya terasa enak sekali. Ki Gemblong pun ketagihan.
Sejak saat itu, tiap hari Ki Gemblng selalu menggiring ternaknya ke tepi sungai dan ia meninggalkan hewan ternaknya begitu saja. Ki Gemblong asyik menangkap, membakar dan memakan daging ikan, sementara hewan ternaknya benar-benar dilupakan. Hingga pada suatu hari, hewan-hewan ternak yang digembala Ki Gemblong menjadi kurus-kurus bahkan banyak sekali yang sakit dan kemudian mati.
Peristiwa ini akhirnya terdengar Mbah Babadan, maka Ki Gemblong pun dipanggilnya untuk menghadap. Rupanya Mbah Babadan marah melihat ulah Ki Gemblong. Mbah Babadan pun segera mengambil seikat daun kelapa kering dan membakarnya menjadi obor. Dengan obor itulah Mbah Babadan berkali-kali memukul kepala Ki Gemblong. Karena merasa sakit, Ki Gemblong segera bangkit dan melawan dengan obor pula.
Ternyata percikan api obor yang dipukul-pukulkan kedua orang itu ada yang membakar jerami yang ada di kandang. Kandang ternak itu pun akhirnya terbakar dan hewan ternak milik Mbah Babadan yang sedang sakit dan kurus-kurus lari tunggang langgang ketakutan. Setelah terbakarnya kandang tersebut selanjutnya sapi-sapi itu menjadi gemuk-gemuk dan sehat.
Sejak itulah, masyarakat Desa Tegalsambi yakin bahwa untuk mengusir penyakit perlu dilakukan Tradisi Obor-Oboran. Prosesi ini masih acap digelar menjadi rangkaian Upacara Sedekat Bumi Desa Tegalsambi.
Perang obor pada malam kemarin cukup meriah ,selain dihadiri oleh seluruh warga desa ,pejabat dari kabupaten juga warga sekitarnya ikut menyaksikan kemeriahan perang api ini . Saking meriahnya kadang api dari obor tersebut memercik ke tubuh pasukan ataupun penonton yang menjadikan luka bakar, namun anehnya luka itu dapat tersembuhkan dengan obat khusus dari ramuan minyak kelapa dan bahan khusus dari desa TegalSambi cukuphanya dioleskan saja.
” Bagi penonton yang tiba-tiba kena percikan api jangan takut , luka tersebut dapat disembuhkan dari minyak khusus yang telah dipersiapkan oleh panitia ,jangan di bawa ke dokter nanti lama sembuhnya ” , ujar salah satu panitia . (FM)
Emang bener sea.....yang namanya tradisi kebudayaan suatu daerah itu harus tetap berlaku and asal gak menyalahi aturan / norma 2 yangberlaku aja kawand !!
Langganan:
Postingan (Atom)